Sumber: KOMPAS.com— Upacara Kebo Ketan (UKK) yang digelar di desa Sekaralas, Widodaren, Ngawi, Jawa Timur dimulai pada 23 November dan memuncak pada tanggal 24 November sore hingga dini hari 25 November 2018. Upacara Kebo Ketan merupakan sebuah karya seni kejadian berdampak yang dibuat oleh LSM Kraton Ngiyom bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Ngawi, warga desa Sekaralas dan Sekarputih, serta ratusan seniman dari berbagai daerah di Indonesia.
Selain menyelamatkan mata air Sendang Margo dan Sendang Ngiyom serta mengembalikan fungsi hutan di kawasan Alas Begal di Ngawi, secara khusus Upacara Kebo Ketan juga berfungsi sebagai ruang serbuk silang kreativitas seni rakyat Nusantara. Oleh karena itu, tahun ini berbagai karya seni kreatif dari berbagai daerah diberi ruang luas untuk tampil dan saling memengaruhi.
Lakon Setyowati Winisuda
Hari pertama, Jumat 23 November 2018, akan dimeriahkan dengan pentas ketoprak dari kelompok Puspo Budoyo yang terkenal di Ngawi, membawakan lakon Setyowati Winisuda, atau Setyowati Ratu. Ada beberapa bintang tamu yang akan tampil, yakni Endah Laras, Bonita Adi, AB Seti adji, dan Kodok Ibnu Sukodok. Kisah ini merupakan kisah baru yang dibuat dengan mengangkat tokoh Setyowati, peri dan danyang penjaga Sendang Margo dan Sendang Ngiyom di Alas Begal, yang di tahun 2014 kawin dengan seniman Kodok Ibnu Sukodok di dalam usahanya memerbaiki kondisi mata air dan hutan yang dijaganya, dengan menguatkan kebudayaan masyarakat yang mendampaki wilayahnya. Tokoh Setyowati ini diceritakan merupakan seorang kerabat Brawijaya Pamungkas, raja terakhir Majapahit.
Menurut kisah tradisional, dalam perjalanannya menuju moksa di puncak gunung Lawu, Brawijaya Pamungkas singgah di tempuran sungai Ketonggo di Ngawi, untuk melepas busana raja dan mengenakan pakaian pertapa. Kisah ini kami tambahi, bahwa setelah dari tempuran sungai Ketonggo, dalam perjalanan menuju puncak Lawu, Brawijaya Pamungkas singgah di Sendang Ngiyom, dan di situlah salah seorang kerabat yang mengiringkannya, yakni Dewi Setyowati, meninggalkan alam materi dan masuk ke alam gaib. Dewi Setyowati menjadi danyang penjaga Sendang Margo dan Sendang Ngiyom selama berabad-abad.
Di tahun 1998 hutan di kawasan sekitar sendang itu dijarah dan debit mata air menurun tajam, dari kemampuan mengairi lebih 1000 hektar sawah menjadi hanya mampu mengairi beberapa hektar saja. Oleh karena itu maka LSM Kraton Ngiyom sejak tahun 2012 mulai berikhtiar untuk menyelamatkan mata air dan mengembalikan fungsi hutan penyangganya. Di tahun 2014 diselenggarakan suatu karya seni kejadian berdampak guna memfokuskan perhatian kepada hutan dan mata air itu.
Karya itu berjudul “Mbah Kodok Rabi Peri”, berwujud suatu perkawinan adat Jawa antara seniman Kodok Ibnu Sukodok dan Setyowati, danyang penjaga Sendang Margo dan Sendang Ngiyom. Setyowati meminta tolong kepada LSM Kraton Ngiyom untuk melindungi mata airnya dan mengembalikan hutannya. Selanjutnya Setyowati dan Kodok memiliki anak kembar dampit yang oleh ayahnya diberi nama Jaka Samudra dan Sri Parwati. Kedua anak ini tinggal di alam gaib, dan telah beranjak dewasa. Ratu Kidul memerintahkan mereka berdua untuk ngenger, hidup bersama mengabdi dan belajar, pada Bagindo Milir, danyang Bengawan Solo, untuk belajar bagaimana caranya memerbaiki Bengawan Solo sehingga menjadi nadi budaya, sosial, ekonomi dan ekosistem yang indah, sesuai nama purbanya Wuluayu yang bermakna sungai yang indah.
Untuk menghayati pentingnya pengorbanan dalam proses belajar, dan untuk menyiapkan kami semua membuat kejadian berdampak pada peningkatan kwalitas Bengawan Solo, maka Ratu Kidul memerintahkan untuk membuat Upacara Kebo Ketan. Habib Lutfi Bin Yahya dari Pekalongan kemudian memberi arahan agar supaya acara ini terkait dengan budaya yang sudah ada hendaknya dijadikan perayaan Maulud Nabi Muhammad SAW. Seperti Garebeg Maulud yang sejak Demak diselenggarakan raja, Garebeg Kebo Ketan ini diselenggarakan oleh rakyat. (Penulis : Jodhi Yudono | Editor : Jodhi Yudono)