Kisah Wahyu, Anak Buruh Tani Lolos Seleksi Perangkat Desa

Wahyu Candra Purnama adalah warga Desa Sumber, Kecamatan Pangkur. kabupaten Ngawi. Dia mungkin sama dengan pemuda usia 21 tahun lainnya. Namun siapa sangka, di usianya yang masih muda, Wahyu sudah mengemban amanah sebagai salah satu pamong di desa setempat.

Wahyu Candra Purnama, anak buruh tani berprestasi. (Foto: TIMES Indonesia)

Ya, Wahyu adalah seorang Kepala Dusun. Tepatnya dia memimpin Dusun Sumber I. Dia terpilih sebagai Kasun, setelah lolos sebagai jawara pada seleksi di desanya.

Dikutip dari TIMES Indonesia, Wahyu mendapatkan peringkat pertama pada seleksi yang diikuti oleh 13 orang calon kepala dusun. Wahyu berhasil menggungguli rekan-rekannya saat seleksi yang dilaksanakan di area pemakaman di desa setempat, pada bulan September tahun 2021 lalu.

“Tidak menyangka, terlebih rekan lainnya juga berpotensi semua,” kata Wahyu.

Prosesi seleksi perangkat desa. (Foto: TIMES Indonesia)

Berangkat dari keluarga yang pas-pasan, sistem seleksi menjadi salah satu yang bisa dilakukan Wahyu agar penghidupan dia dan keluarganya berubah. Dan benar saja, prestasinya yang tidak bisa dianggap remeh benar-benar terealisasi.

Jejak-jejak prestasi Wahyu sudah terukir sejak di bangku sekolah. Sepanjang mengikuti wajib belajar 12 tahun, prestasi akademik tidak pernah absen dari Wahyu, yang alumni SMK N 2 Ngawi itu.

Wahyu anak semata wayang, pasangan Katimin dan Paniem. Adalah buruh tani. Keluarga yang cukup sederhana. Tapi memiliki mimpi yang besar.

“Orang tua buruh tani, keseharian di sawah,” ujarnya.

Katimin, ayah Wahyu, tentu sangat bangga. Apalagi berlatar keluarga yang biasa. Aliran darah wong gedhe tidak ada di sejarah keluarga mereka. Dan pasti, menangnya Wahyu adalah sejarah baru bagi keluarga sederhana itu.

“Kita memang dari orang biasa, baru anak saya ini yang bisa jadi pamong desa,” kata Katimin.

Model seleksi dalam pencalonan perangkat tentu bukanlah hal baru. Namun jika dibandingkan dengan sistem pilihan seperti yang dulu, peluang adanya seperti Wahyu tentu sangat sedikit.

Tentu yang berani mancung, hanya yang berduit. Paling tidak memiliki darah-darah keluarga pamong desa. Orang-orang kebanyakan seperti Wahyu, tidak akan berani bermimpi mengikuti pemilihan.

“Kalau pemilihan, tentu saja kita tidak berani maju. Keterbatasan biaya masalahnya,” kata Katimin. (mif)