Dokter Radjiman, Pendiri NKRI Penyangga Ngawi

Generasi muda di Ngawi banyak yang tidak menyadari bahwa salah seorang pendiri republik adalah seorang tokoh yang tinggal, mengabdi dan menghabiskan sisa hidupnya di Ngawi. Dokter Rajiman atau Mbah Rajiman begitu beliau biasa dipanggil, adalah ketua Badan Penyelidik Usaha – Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Situs rumah peninggalan Mbah Rajiman terletak di Dsn Dirgo, Desa Walikukun, Kec Widodaren – Ngawi. Rumah ini banyak dikunjungi masyarakat, termasuk diantaranya Presiden RI Joko Widodo.

Rajiman Kecil adalah sosok yang gigih dalam belajar. Di saat sekolah hanya diperuntukkan bagi orang-orang keturunan bangsawan dan ketika rakyat biasa hanya mampu mengabdi dan bekerja, sosok Radjiman muncul sebagai salah seorang rakyat biasa yang mampu belajar bersama para bangsawan di sekolah Belanda. Semasa penjajahan, rakyat kecil hanya diperbolehkan bersekolah hingga tamat SR (Sekolah Rakyat). Sementara Radjiman justru mampu mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi dan menuntut ilmu hingga tanah Eropa.

 

Masa Kecil dan Belajar

Lahir dari rahim seorang ibu berketurunan Jawa dan ayah yang bekerja sebagai kopral berdarah Gorontalo – Bugis pada tanggal 21 April 1879 , Dokter Radjiman semasa muda memilih mengabdi pada Dr Wahidin Sudirohusodo dengan mengantar-jemput sang putra menempuh pendidikan.

Dari sanalah, keinginan untuk belajar lahir. Melalui celah jendela, beliau mendengarkan setiap pelajaran yang disampaikan guru-guru di sekolah Belanda. Kecerdasannya yang berada di atas rata-rata membuat seorang guru Belanda mempersilakan dirinya untuk ikut dalam kelas.

Semangat yang tinggi serta bantuan dari Dr Wahidin sebagai orang tua angkat, mengantarkan Dokter Radjiman meraih gelar sarjana kedokteran dari Sekolah Dokter Bumiputera (Stovia), bahkan lulus di usia sebelum 19 tahun. Beliau pun memiliki kesempatan untuk menimba ilmu di Berlin dan Paris hingga akhirnya mampu menjadi dokter ahli bedah, kandungan, serta penyakit kandungan.

Mengabdi untuk Rakyat

Pengabdian Dokter Radjiman tidak hanya sebatas menjadi dokter Kasunanan Yogyakarta, akan tetapi juga pada rakyat yang membutuhkan. Terbukti ketika wabah pes menyerang Ngawi pada tahun 1934, beliau rela tinggal di Ngawi untuk menangani langsung rakyat yang terserang. Bahkan, di sanalah, beliau mengajarkan para dukun bayi mengenai ilmu kandungan agar mampu menyelamatkan wanita hamil yang sebelumnya banyak meninggal ketika melahirkan bayinya.

Kepedulian itulah yang menjadikan Sunan Yogyakarta memberikan gelar khusus pada Dokter Radjiman, yaitu gelar kehormatan Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) serta nama belakang Wedyodiningrat.

Ketua BPUPKI

Tidak hanya aktif untuk kemaslahatan rakyat, Dokter Radjiman juga sangat aktif dalam kemerdekaan bangsa. Pada tahun 1914-1915 ketika menjabat sebagai ketua Budi Utomo, beliau mengusulkan adanya milisi rakyat untuk melawan penjajah. Dari ide itulah, muncul tentara rakyat yang siap bertempur mengusir penjajah dan meraih kemerdekaan.

Perannya terus berlanjut dalam upaya persiapan kemerdekaan dengan menjabat ketua BPUPKI yang beranggotakan 67 orang. Badan iniĀ  bekerja merumuskan pertanyaan mengenai dasar negara yang kemudian dijawab oleh Bung Karno dengan pidato kelahiran Pancasila. Beliau pulalah yang bertugas mencatat setiap butir Pancasila.

Tepat pada tanggal 20 September 1952 di Dusun Dirgo, Widodaren, Ngawi, Dokter Radjiman tutup usia, mengakhiri perjuangannya sebagai pejuang kemerdekaan. Nama beliau diabadikan sebagai nama pendopo Kabupaten Ngawi yang disebut Wedya Graha (Redaktur).