Gula Aren, Warisan Kekayaan Kuliner Nusantara Yang Masih Lestari di Ngawi

Gula aren bagi masyarakat Indonesia tentu sudah sangat familiar. Salah satu bahan makanan yang memiliki rasa manis yang khas itu sangat mudah ditemukan di pasaran.

Gula aren salah satu jenis pemanis makanan. Selain gula aren, masyarakat kita juga mengenal pemanis seperti gula pasir putih, gula tebu, gula batu, gula kelapa, dan lain sebagainya.

Gula aren tradisional

Tentang gula aren, gula ini terbuat dari nira hasil sadapan pohon enau. Bagi masyarakat lokal, pohon enau juga dikenal sebagai pohon aren.

Pohon aren tumbuh seperti pohon kelapa. Berbatang lurus memanjang, dengan sekelompok daun pada sisi atasnya.

Pohon enau banyak tumbuh di kawasan pegunungan. Jika di Kabupaten Ngawi, pohon enau atau aren ini mudah ditemukan sepanjang Kecamatan Kendal, Ngrambe, Jogorogo, dan Sine.

Pohon enau atau aren

Nira bahan baku utama gula aren didapatkan dari proses penyadapan dahan bakal bunga. Satu dahan bakal bunga itu, bisa menghasilkan banyak liter nira.

Untuk membuat gula aren, nira hasil sadapan kemudian di masak dalam kuali. Proses memasak air nira membutuhkan waktu yang tidak singkat. Hingga berjam-jam, sampai tingkat kematangan tertentu.

Setelah itu, air nira yang sudah dimasak kemudian di tuang dalam cetakan. Umumnya orang desa menggunakan cetakan bekas tempurung kelapa.

Proses memasak air nira

Proses pengerasannya bisa memakan waktu hingga 10 jam. Cukup lama untuk mencapai kepadatan gula aren seperti yang kita tau.

Gula aren yang sudah mengeras langsung bisa kita konsumsi. Asal sudah dingin. Bisa untuk teman minum kopi pahit, atau bahan masakan.

Proses pembuatan gula aren yang ribet, membuat sebagian orang enggan menggeluti. Selain itu, harga jualnya juga tidak sebanding dengan perjuangan membuat sekeping gula aren.

Kendati demikian, di Kabupaten Ngawi masih ada pembuat gula aren secara tradisional. Dia adalah Mbah Mikin Harsono, warga desa Kletekan, Kecamatan Jogorogo, Kabupaten Ngawi.

Mbah Mikin, pembuat gula aren tradisional

Di usia Mbah Mikin (74), sehari-hari dirinya masih membuat gula aren. Dari proses menyadap, memanjat pohon enau untuk mendapatkan air nira, pulang pergi dengan jalan kaki. Semua masih dia lakukan sendiri.

“Saya membuat gula aren sudah puluhan tahun, sejak belum menikah malahan,” katanya.

Dibantu sang istri, Mbah Mikin masih setia mengolah air nira menjadi gula aren yang nikmat itu. Hal itu semata-mata untuk penghasilan tambahan, dan meneruskan tradisi.

Satu keping gula aren buatan Mbah Mikin, biasa dia jual dengan harga Rp50 ribuan. Pelanggan setia hanya tetangga sekitar saja. Namun tidak jarang juga diminati oleh orang luar desanya di Kletekan.

“Ya untuk yang beli tetangga sekitar saja, kadang juga ada yang dari luar desa,” ujarnya.

Mbah Mikin mengaku dalam membuat gula aren hanya menggunakan bahan alami. Tidak ada campuran dan dipastikan gula aren produksinya asli.

Dirinya membagikan tips membedakan gula aren asli dengan yang palsu. Katanya, gula aren yang asli dan murni ketika di potong langsung hancur. Tidak keras seperti yang palsu.

“Kalau gula aren produksi saya, setiap di pecah pasti hancur, mawur seperti pasir. Karena memang tidak ada tambahan apapun, semua asli dan murni,” jelasnya.

Gula aren seperti produksi Mbah Mikin, bisa menjadi salah satu warisan kekayaan kuliner Nusantara. Apalagi dibuat secara tradisional, yang bahannya asli dan murni. Dan gula aren, masih lestari di Kabupaten Ngawi. (Mif)